MAKALAH
NAHI
Di
Susun Oleh:
Fajar
Hakiki
Fathor
Rosi
Hendra
Setiawan
Ilham
Hadi Yasin Ma’arif
JL. PONTREN SUMBER BUNGUR PAKONG
TAHUN
PELAJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga
kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat dengan berbagai
observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan
tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang
pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik
konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.
Pamekasan, 10 Januari 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nahi
B.
Sighat (Bentuk Kata)
Nahi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqih sebagai
ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan
agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari
segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena
sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang
mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu
yang sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan
mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar’i, terutama untuk mengetahui
hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa
Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an dan Hadits
sudah tidak akan ada penambahan dan perubahan karena memang segalanya sudah
tercakup di dalam Al-Qur’an.
Sehingga banyak para
ulama atau tokoh-tokoh agama islam yang berijtihad bersama dalam memecahkan
banyaknya permasalahan yang semakin hari kian banyak dan memengaruhi kemantapan
hati umat islam dalam beribadah kepada Allah SWT. Sudah barang tentu, para
ulama dalam berijtihad tidak hanya menggunakan akal pikiran semata namun, semua
pemikiran itu dilandaskan pada Al-Qur’an dan As sunnah.
Kemudian halnya, hasil
ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum syara’, yang disesuaikan dengan
berbagai sebab dan keadaannya. Sehingga dapat membantu meringankan para
mukallaf dalam beribadah kepada Allah secara mutlak, seiring berbagai macam
persoalan zaman yang semakin berkembang. Bagitupun juga terkait dalil-dalil
antara perintah dan larangan. Maka, dalam makalah ini kami akan membahas
tentang amar (perintah) dan nahi (larangan).
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian nahi?
2. Apa
saja sighat (bentuk kata) nahi?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian nahi
2. Untuk
mengetahui sighat (bentuk kata) nahi
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk
meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang
sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk
meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi
dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah
orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid
Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu
larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni
dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Adapun maksud nahi yang
sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam firman Allah:
وَلَاتَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
Artinya: “dan
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran:
130)
Karena La
ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah
haram, maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak
diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada
qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi menunjukkan hukum
haram, tetapi menunjukkan hukummakruh, mubah, dan sebagainya.
Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat
bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun,
pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.
B.
Sighat (bentuk kata) Nahi
Kalimat larangan yang
tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Seperti firman
Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا لَاتَقْرَبُ
الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: “hai
orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan
mabuk”. (QS.An Nisa: 43)
Ungkapan yang
menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk diantaranya:
1. Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:
لَا
تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi”.(QS. Al Baqarah: 11).
2. Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan
sesuatu perbuatan, seperti:
وَاَحَلَّ
اللّهَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275).
Kaidah-kaidah Nahi:
Kaidah pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:
وَلَاتَقْرَ
بُوا الزِّنَى
Artinya: “dan janganlah kalian mendekati
zina”. (QS. Al Isra: 32).
Sighat Nahi mengandung beberapa
pengertian, antara lain sebagai berikut:
a. Untuk do’a
رَبَّنَا
لَاتُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَااَوْاَخْطَأْنَا
“hai Tuhan kami,
janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b. Untuk pelajaran
لَاتَسْئَلُوْاعَنْ
اَشْيَاءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ تَسُؤْكُمْ
“janganlah kamu
menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu”.
c. Putus asa
لَاتَعْتَذِرُوا
الْيَوْمَ
“janganlah kamu
cari-cari alasan hari ini”
d. Untuk menyenangkan (menghibur)
لَاتَحْزَنْ
إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
“jangan bersedih kamu,
bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:
لَا
تُشْرِكْ بِاللّه
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan
yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu. Seperti:
لَاتَقْرَبُوا
الصَّلَواةَ وَاَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam
keadaan mabuk”. (QS. An Nisa’:43).
Nahi terbagi kedalam 4
bagian yakni:
1)
Nahi yang menunjukkan
perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang menyebabkan perbuatan
yang dilarang itu hukumnya fasid(rusak) haram.
2)
Nahi yang
menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya,
larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3)
Nahi yang menunjukkan
sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya larangan berpuasa pada
hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat Islam dapat menikmati
kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4)
Nahi yang menunjukkan
hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan dengan perbuatan
tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at yang
akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.
3. Dilalah dan Tuntutan Nahi
Dalam melarang suatu
perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari Beik, Allah juga memakai beragam
gaya bahasa diantaranya:
a.
Larangan secara tegas
dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 yang
artinya:
وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِوَالْبَغْيِ
“Dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
b.
Larangan dengan
menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-A’raf:
قُلْ
إِنَّمَاحَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَمِنْهَاوَمَابَطَنَ وَالْإِثْمَ
وَالْبَغْيَ بِغَيْرِالْحَقِّ
Artinya: “Katakanlah
: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa
alasan yang benar”.
c.
Larangan dengan
menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, contoh surat An-Nisa’ ayat
19:
يَا
اَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوا لَايَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا انِّسَاءَكَرْهَا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa”.
d.
Larangan dengan
menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau mendatang) yang
disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-An’am ayat 152:
وَلَاتَقْرَبُوْا
مَالَ اليَتِيْمِ اِلَّابِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ اَشُدَّهُ
Artinya:“Dan
janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
e.
Larangan dengan memakai
kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya, surat
Al-An’am ayat 120 artinya:
وَذَرُوْاظَاهِرَالْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ
“Dan tinggalkanlah
dosa yang Nampak dan yang tersembunyi”.
f.
Larangan dengan cara
mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah : 34.
وَالَّذِيْنَ
يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِي سَبِيْلِ اللّه
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ
Artinya: “Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih”.
g.
Larangan dengan
mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180
وَلَايَحْسَبَنَّ
الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا أتهُمُ اللّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ
Artinya: “Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.
h.
Larangan dengan cara
meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat al-Baqarah : 193
فَإِنِ انْتَهَوافَلَا
عُدْوَانَ اَلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ
Artinya: “Jika
mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zalim”
4. Syarat-syarat Nahi
a.
Bentuk nahi hanya satu
saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti nahi yang pokok.
1)
Menunjukkan haram
Artinya: “larangan itu
menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang)”.
Alasannya, apabila ada
kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti
keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat dimengerti
menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata
yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak menyebabkan
haram.
2)
Menunjukan makruh
Artinya: “Bermula
larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya, larangan itu
hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang dilarang. Keburukan
ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang
dilarang.
3)
Melarang sesuatu
mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi rusak dan tidak sah.
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan
mengakibatkan perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi
tidak sah. Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi
berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan
yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam
muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan muktazilah
berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang
dilarang, tidak pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula
dalam soal-soal ibadah dan muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata
di dalam kitab shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi
yang tidak membedakan antara ibadah dan muamalah menyebabkan perbuatan yang
dilarang itu haram hukumnya, dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti
batal (tidak sah).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nahi adalah suatu
larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni
dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
1.
Sighat (bentuk kata)
Nahi
2.
Dilalah dan Tuntutan
Nahi
3.
Syarat-syarat Nahi
B.
Saran
Penulis
menyadari makalah ini mungkin masih jauh dari kata sempurna. Akan tetapi, bukan
berarti makalah ini tidak berguna dan bermanfaat. Besar sekali harapan yang
terpendam dalam hati penulis semoga makalah ini dapat memberikan bantuan pada
suatu saat terhadap makalah lain dengan tema yang sama. Dan dapat dijadikan
referensi bagi pembaca serta menambah ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Efendi,
Satria dan Ma’shum Zein.tt. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencan Perdana
Media Group.
Karim,
Syafi’i.
2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Uman, Chaerul
dan Achyar Aminudin. 2001. Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia.
Zudbah,
Muhammad Ma’sum Zein. 2008. Ushul Fiqh. Jawa Timur: Darul Hikmah.
Zuhri, Moh dan
Ahmad Qarib. 1994. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Toha Putra Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar