Rabu, 09 Januari 2019

MAKALAH TENTANG NAHI


MAKALAH
NAHI




Di Susun Oleh:
Fajar Hakiki
Fathor Rosi
Hendra Setiawan
Ilham Hadi Yasin Ma’arif






MA SUMBER BUNGUR PAKONG PAMEKASAN
JL. PONTREN SUMBER BUNGUR PAKONG
TAHUN PELAJARAN 2018/2019

KATA PENGANTAR 

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. 
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. 

Pamekasan, 10 Januari 2019

Penyusun








DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL                                                                       
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nahi
B.     Sighat (Bentuk Kata) Nahi
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar’i, terutama untuk mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an dan Hadits sudah tidak akan ada penambahan dan perubahan karena memang segalanya sudah tercakup di dalam Al-Qur’an.
Sehingga banyak para ulama atau tokoh-tokoh agama islam yang berijtihad bersama dalam memecahkan banyaknya permasalahan yang semakin hari kian banyak dan memengaruhi kemantapan hati umat islam dalam beribadah kepada Allah SWT. Sudah barang tentu, para ulama dalam berijtihad tidak hanya menggunakan akal pikiran semata namun, semua pemikiran itu dilandaskan pada Al-Qur’an dan As sunnah.
Kemudian halnya, hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum syara’, yang disesuaikan dengan berbagai sebab dan keadaannya. Sehingga dapat membantu meringankan para mukallaf dalam beribadah kepada Allah secara mutlak, seiring berbagai macam persoalan zaman yang semakin berkembang. Bagitupun juga terkait dalil-dalil antara perintah dan larangan. Maka, dalam makalah ini kami akan membahas tentang amar (perintah) dan nahi (larangan).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian nahi?
2.      Apa saja sighat (bentuk kata) nahi?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian nahi
2.      Untuk mengetahui sighat (bentuk kata) nahi
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau  lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam firman Allah:
وَلَاتَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran: 130)
Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukummakruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.


B.     Sighat (bentuk kata) Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Seperti firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا لَاتَقْرَبُ الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk”. (QS.An Nisa: 43)
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk diantaranya:
1.      Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:
لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.(QS. Al Baqarah: 11).
2.      Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti:
وَاَحَلَّ اللّهَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275).
Kaidah-kaidah Nahi:
Kaidah pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:
وَلَاتَقْرَ بُوا الزِّنَى
Artinya: “dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).
Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:
a.       Untuk do’a
رَبَّنَا لَاتُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَااَوْاَخْطَأْنَا
“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b.      Untuk pelajaran
لَاتَسْئَلُوْاعَنْ اَشْيَاءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ تَسُؤْكُمْ
“janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu”.
c.       Putus asa
لَاتَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ
“janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”
d.      Untuk menyenangkan (menghibur)
لَاتَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
“jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:
لَا تُشْرِكْ بِاللّه
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu. Seperti:
لَاتَقْرَبُوا الصَّلَواةَ وَاَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (QS. An Nisa’:43).
Nahi terbagi kedalam 4 bagian yakni:
1)      Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid(rusak) haram.
2)      Nahi yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya, larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3)      Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat Islam dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4)      Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan dengan perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.
3.      Dilalah dan Tuntutan Nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari Beik, Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya:
a.       Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 yang artinya:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِوَالْبَغْيِ
Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
b.      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَاحَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَمِنْهَاوَمَابَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِالْحَقِّ
Artinya: “Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”.
c.       Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, contoh surat An-Nisa’ ayat 19:
يَا اَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوا لَايَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا انِّسَاءَكَرْهَا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”.
d.      Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-An’am ayat 152:
وَلَاتَقْرَبُوْا مَالَ اليَتِيْمِ اِلَّابِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ اَشُدَّهُ
Artinya:“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
e.       Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 artinya:
 وَذَرُوْاظَاهِرَالْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ
Dan tinggalkanlah dosa yang Nampak dan yang tersembunyi”.
f.       Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah : 34.
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِي سَبِيْلِ اللّه فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
g.      Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180
وَلَايَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا أتهُمُ اللّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ
Artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.
h.      Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat al-Baqarah : 193
فَإِنِ انْتَهَوافَلَا عُدْوَانَ اَلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ
Artinya: “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”
4.      Syarat-syarat Nahi
a.       Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti nahi yang pokok.
1)      Menunjukkan haram
Artinya: “larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang)”.
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu,  yang segera dapat dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak menyebabkan haram.
2)      Menunjukan makruh
Artinya:  “Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.
3)      Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi rusak dan tidak sah.
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah. Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya, dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
1.      Sighat (bentuk kata) Nahi
2.      Dilalah dan Tuntutan Nahi
3.      Syarat-syarat Nahi
B.     Saran
Penulis menyadari makalah ini mungkin masih jauh dari kata sempurna. Akan tetapi, bukan berarti makalah ini tidak berguna dan bermanfaat. Besar sekali harapan yang terpendam dalam hati penulis semoga makalah ini dapat memberikan bantuan pada suatu saat terhadap makalah lain dengan tema yang sama. Dan dapat dijadikan referensi bagi pembaca serta menambah ilmu pengetahuan.











DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Satria dan Ma’shum Zein.tt. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencan Perdana Media Group.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Uman, Chaerul dan Achyar Aminudin. 2001. Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia.
Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein. 2008. Ushul Fiqh. Jawa Timur: Darul Hikmah.
Zuhri, Moh dan Ahmad Qarib. 1994. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Toha Putra Group.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lestarikan Budaya Tradisional, Warga Desa Pakong dan Desa Bicorong adakan Lomba Layang-Layang Hias

PAKONG - Mukhtar membuka secara langsung mengenai gelaran lomba layang-layang dalam rangka memeriahkan HUT RI yang ke-77. Dalam rangka memer...